10 August 2012

Sejarah Singkat Kerajaan Majapahit


Masa Nararya Sanggramawijaya
Pada 1215 Raden Wijaya memproklamasikan berdirinya kerajaan baru: Majapahit. Nama Sansekertanya adalah Wilwatikta. Ia dinobatkan sebagai raja pertama dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana. Menurut Kidung Harsa Wijaya, penobatan Raden Wijaya terjadi pada tanggal 15 Kartikamasa bulan Karttika tahun 1215 Saka, bertepatan dengan 12 November 1293.
Nararya Sanggramawijaya (Raden Wijaya) dalam Prasasti Balawi tahun 1305 menyatakan dirinya sebagai Wangsarajasa. Dengan demikian, ia tak pernah sekali pun berniat hendak mendirikan “dinasti” baru, melainkan meneruskan dinasti yang telah dibangun Ken Arok, buyutnya. Bahkan, menurut Naskah Wangsakerta, Wijaya memiliki hubungan darah dengan Kerajaan Sunda.
Rajasawangsa adalah dinasti yang didirikan oleh Nararya Sangramawijaya. Ada yang menarik dalam hal ini: Nararya Sangramawijaya tidak menamakan dinastinya dengan sebutan, misalnya, Wijayawangsa, melainkan Rajasawangsa. Penamaan dinasti ini terbukti dari Piagam Kertarajasa Jayawardhana tahun 1305, sebuah lempengan satu baris yang berbunyi: “Rajasawangsa, penolong orang utama, pahlawan gagah berani dalam peperangan ….” Dengan demikian, Sanggramawijaya tidak bermaksud mendirikan wangsa atau dinasti baru yang disebut dengan unsur namanya, melainkan melanjutkan Kerajaan Singasari yang terputus oleh Jayakatwang tahun 1292. Nama abhiseka Nararya Sanggramawijaya mengandung unsur “rajasa”, nama pendiri Singasari, Ken Arok. Dengan jalan demikian terlihat kesetiaan Sanggramawijaya terhadap Singasari.
Dalam memerintah, Wijaya mengangkat para pengikutnya yang dulu setia dalam perjuangan mendirikan Majapahit. Nambi diangkat sebagai Mahapatih Majapahit, Lembu Sora sebagai Patih Daha, Arya Wiraraja dan Ranggalawe diangkat sebagai Pasangguhan (jabatan yang setara dengan hulubalang raja). Pada 1294 Raden Wijaya juga memberikan anugerah kepada pemimpin Desa Kudadu yang dulu melindunginya saat pelarian menuju Madura.
Pemberontakan Rangga Lawe
Pada 1295, menurut Pararaton, terjadi pemberontakan yang dilakukan Rangga Lawe, yang diuraikan lebih detail pada Kidung Rangga Lawe. Rangga Lawe, seorang pejabat pengikut setia Wijaya, iri terhadap Empu Nambi yang diangkat sebagai patih amangkubhumi Majapahit. Ia pun sebetulnya mengharapkan jabatan penting itu karena merasa berjasa terhadap pembukaan hutan Tarik dan pengusiran tentara Tartar. Di samping itu, Rangga Lawe adalah anak Arya Wiraraja, Bupati Sumenep, yang sangat berjasa dalam menolong Raden Wijaya dalam mendirikan Majapahit. Ia tak puas hanya diangkat sebagai adipati mancanagara di Daratan (Tuban). Adalah Mahapati, seorang pejabat istana, yang menghasut Rangga Lawe untuk memberontak. Namun, pemberontakan berhasil diatasi dan Rangga Lawe dibunuh secara kejam oleh Mahisa Anabrang.
Pemberontakan Rangga Lawe ini berbuntut panjang. Arya Wiraraja, salah satu pendukung loyal Wijaya sekaligus ayah Rangga Lawe, mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pasangguhan. Ia menagih janji Wijaya tentang pembagian wilayah kerajaan. Wijaya mengabulkannya. Maka, sejak saat itu, wilayah kerajaan pun hanya tinggal setengah, di mana yang sebelah timur dipimpin oleh Wiraraja dengan ibu kota di Lamajang (nama lama Lumajang). Nama Rangga Lawe, menurut Kidung Panji Wijayakrama, merupakan pemberian R. Wijaya sendiri, ketika putra Arya Wiraraja tersebut diperbantukan dalam membuka hutan Tarik; jadi bukan nama sebenarnya. Ada pun Pararaton dan Kidung Rangga Lawe memberitakan bahwa Arya Wiraraja juga bernama Arya Adikara ketika menjabat sebagai demung di Singasari. Dengan demikian, kiranya Rakryan Menteri Arya Adikara yang tertulis pada Piagam Kudadu harus ditujukan kepada tokoh Rangga Lawe. Namun, pemberontakan Rangga Lawe tak disinggung dalam Nagarakretagama.
“Pemberontakan” Lembu Sora
Pararaton menuturkan, lima tahun setelah peristiwa Rangga Lawe, tahun 1300 terjadi pemberontakan pula, kali ini dilancarkan oleh Lembu Sora, paman Rangga Lawe. Dalam pemberontakan Rangga Lawe, Lembu Sora memihak Majapahit, bahkan menasihati Sri Kertarajasa agar menolak keinginan Rangga Lawe yang ingin mengambil-alih jabatan patih amangkubhumi dari Nambi. Namun, ketika melihat Rangga Lawe dibunuh dengan kejam oleh Mahisa Anabrang di tepi Sungai Tambak Beras, Sora merasa tidak tahan dan berbalik membunuh Mahisa Anabrang. Menurut kitab perundang-undangan yang dianut oleh negara Majapahit, yaitu Kutaramanawa Dharmasastra, Lembu Sora seharusnya dijatuhi hukuman mati berdasarkan pasal astadusta. Namun ternyata ia bebas dari tuntutan.
Tersebut seorang pembesar istana yang begitu akrab dengan sang Prabu dan sangat bernafsu menduduki jabatan patih amangkubhumi. Ia bernama Mahapati, tokoh yang juga menghasut Rangga Lawe. Untuk itu, sebelum menyingkirkan Empu Nambi yang menjabat patih amangkubhumi, Mahapati terlebih dahulu harus menyingkirkan Lembu Sora yang tentunya akan diserahi jabatan tersebut bila Nambi lengser kelak. Timbullah pemikiran dalam dirinya bahwa ia harus mengungkit-ungkit peristiwa penusukan Mahisa Anabrang oleh Lembu Sora dahulu. Mahapati pun mulai melancarkan siasatnya.
Pada suatu kesempatan sang Prabu dapat diisapi jempol oleh Mahapati. Sang Prabu marah dan hendak membebastugaskan Lembu Sora beserta kawan-kawannya. Melihat sang Prabu termakan rayuannya, Mahapati segera menemui Mahisa Taruna, putra almarhum Mahisa Anabrang, untuk memberitahukan kesedihan sang Parbu yang teringat akan kematian Mahisa Anabrang. Dan inilah kelicikan Mahapati: bila bertemu Lembu Sora ia menceritakan bahwa Mahisa Taruna berniat membalas kematian ayahnya dan sudah pasti ia meminta bantuan Empu Nambi. Mahapati mengingatkan Sora agar waspada dan memastikan bahwa ia berada di pihak Sora. Lain lagi yang Mahapati ceritakan kepada Nambi, bahwa sang Prabu telah memutuskan akan membebaskan Sora dari tugasnya dan menggantikannya dengan Mahisa Taruna.
Nambi pun terbuai oleh ucapan Mahapati. Segera saja ia menghadap sang Prabu dan menegaskan bahwa Lembu Sora harus mendapatkan hukuman setimpal. Para menteri pun sepakat bahwa Lembu Sora bersalah dan harus dihukum. Sementara itu, Sora sangat sedih dan bingung mendengar desas-desus mengenai dirinya. Namun, ia bersama dua kawannya, yaitu Gajah Biru dan Jurudemung, memilih mati. Mahapati datang kepadanya dan mengatakan bahwa ia telah sekuat tenaga mencegah pelaksanaan hukuman terhadap dirinya, sementara Empu Nambi telah menyiapkan pasukannya.
Mengingat jasa-jasanya yang tak sedikit, sang Prabu memutuskan: Lembu Sora takkan dijatuhi hukuman mati melainkan dibuang. Melalui surat tertulis, sang Prabu menyampaikan peringatan kepada Sora, yang diantar oleh Mahapati. Setelah membaca, Sora pun membalas surat sang Prabu, bahwa ia masih setia dan bersedia menghadap ke istana. Dalam hal ini, lagi-lagi politik adu domba dilancarkan Mahapati. Ia berkata kepada Sang Prabu bahwa Sora dan kawan-kawan telah sepakat akan berkhianat.
Alhasil, ketika Sora dan kawan-kawan datang hendak menghadap sang Prabu di istana, pangalasan memberitahukan bahwa sang Baginda tak berminat menerima kedatangan mereka. Namun, Sora bersikeras ingin menemui Baginda. Alih-alih diterima sang Prabu, Sora dan kawan-kawan diserang oleh sejumlah pasukan Majapahit yang disiapkan Nambi. Pararaton menceritakan, Sora bersama Juru Demung dan Gajah Biru tewas di halaman istana. Meski merupakan peristiwa tragis, Nagarakretagama tidak mengungkit-ungkit “pemberontakan” Sora dan kawan-kawannya ini.
Masa Jayanagara
Raden Wijaya wafat pada 1309 digantikan oleh putranya, Jayanagara alias Kala Gemet. Nama Jayanagara tercatat pertama kali pada Piagam Penanggungan, bertarikh 1296. Jadi, umurnya baru 15 tahun ketika dinobatkan menjadi raja. Untuk menghindarkan persaingan, ia melarang kedua adiknya, Tribhuwana dan Rajadewi, dekat dengan para pemuda.
Seperti pada masa akhir pemerintahan ayahnya, masa pemerintahan Jayanagara banyak dirongrong oleh pemberontakan orang-orang yang sebelumnya setia terhadap Raden Wijaya suwargi (almarhum). Diberitakan bahwa Kertarajasa Jayawardhana memiliki tujuh orang dharmaputra, yakni Kuti, Semi, Pangs, Wedeng, Yuyu, Tanca, dan Banyak. Menurut Pararaton, dharmaputra ialah pangalasan wineh suka, yaitu pegawai yang diistimewakan oleh raja. Mereka ternyata tidak puas atas pengangkatan Jayanagara menjadi raja. Maka dari itu, mereka berniat menggulingkan takhta Prabu Jayanagara.
“Pemberontakan” Empu Nambi: Perang di Lumajang
Saat Jayanagara dinobatkan, Empu Nambi masih menjabat patih amangkubhumi, jabatan yang tetap dimimpikan Mahapati. Pada tahun 1316, Mahapati mendekati Nambi, bercerita bahwa Raja Jayanagara tak senang padanya. Atas “nasihat” dan “demi keselamatan negara” Mahapati, Nambi disarankan mengambil cuti untuk tinggal di Lumajang sementara waktu. Nambi setuju saja, dan kebetulan ayahnya, Pranaraja Mpu Sina (nama ini disebut dalam Prasasti Penanggungan), tengah sakit keras. Sang Raja Jayanagara pun mengizinkannya pergi. Ketika tiba di Lumajang, ayahnya baru saja meninggal. Sebagai tanda belasungkawa, Jayanagara mengutus sejumlah utusan, di antaranya Mahapati, Pagawal, Pamandana, Emban, Lasem, dan Jaran Lejong. Mahapati menyarankan agar Nambi mengambil cuti lebih panjang kepada sang Prabu. Namun, apa yang dikatakannya kepada Prabu Jayanagara lain lagi, bahwa Nambi enggan balik ke Majapahit, bahkan tengah mempersiapkan pemberontakan. Diceritakan oleh Mahapati, bahwa para pembesar yang melayat ke Lumajang sebenarnya bermaksud mengadakan komplotan kudeta.
Sang Prabu yang percaya saja kepada ucapan Mahapati, lalu mengirimkan tentara Majapahit ke Lumajang di bawah komando Mahapati. Karena serbuan mendadak, Nambi tak sempat berunding dan akhirnya tewas. Para pembesar Majapahit yang tengah melongok Nambi di Lumajang, yang turut tewas di antara: Pamandana, Mahisa Pawagal, Panji Anengah, Panji Samara, Panji Wiranagari, Jaran Bangkal, Jangkung, Teguh, Semi, Lasem, dan Emban. Mereka semua adalah bekas pengikut (pangadean) ayah sang Prabu, R. Wijaya. Sehabis Nambi tewas, menurut Kidung Sorandaka, Mahapati mendapatkan apa yang diingininya: menjadi patih amangkubhumi, menggantikan Nambi.
Perang di Lumajang ini dikisahkan pula dalam Nagarakretagama. Dalam pupuh 48/2 disebutkan, Raja Jayanagara berangkat ke Lumajang untuk memerangi musuh. Benteng Pajarakan di Lumajang runtuh, Nambi beserta sanak keluarga habis mati terbunuh. Pararaton dan Nagarakretagama mencatat, Perang Lumajang terjadi tahun 1316. Sehabis perang ini, berdasarkan Prasasti Lamongan (tak bertarikh), Raja Jayanagara membebaskan tanah Blambangan sebagai tanah perdikan atau sima.
Nama Pranaraja dan Mahapati yang disebut Kidung Sorandakan dan Pararaton, ternyata tak tertulis dalam prasasti mana pun. Namun, pada Piagam Penangguhan nama Pranaraja dicatat sebagai sang pranaraja Mpu Sina. Sementara itu, dari Prasasti Sidateka (1323) yang dikeluarkan oleh Jayanagara, tertulis “rake tuhan mapatih ring Majapahit Dyah Halayudha” (Dyah Halayudha adalah patih Majapahit, bergelar rakai). Jadi, nama Mahapatih dapat diidentikkan sebagai Dyah Halayudha dalam Prasasti Sidateka.
Pemberontakan Kuti, Munculnya Gajah Mada
Usai peristiwa Lumajang, muncul pemberontakan lain, kali ini dilancarkan oleh Kuti, salah seorang dharmaputra Majapahit juga. Nagarakretagama pupuh 48/2 hanya mengulas sepintas pemberontakan Kuti ini tanpa menyebut tarikhnya. Sementara itu, Pararaton menceritakan bahwa pemberontakan Kuti berlangsung tahun 1319, tiga tahun setelah Perang Lumajang. Kuti berhasil menduduki istana tapi Jayanagara berhasil lolos.
Dalam situasi yang demikian kritis, Jayanagara berhasil diselamatkan oleh seorang bekel bhayangkara (pengawal raja) bernama Gajah Mada. Beserta limabelas bawahannya, Gajah Mada mengungsikan sang Prabu ke Desa Badander.
Ketika di pengungsian, Badander, salah seorang pangalasan minta izin untuk kembali ke Majapahit tapi ditolak oleh Gajah Mada karena takut rahasia pengungsian mereka bocor kepada Kuti. Karena memaksa, pangalasan itu dihabisi Gajah Mada. Lima hari kemudian, Gajah Mada pamit kepada sang Prabu untuk pergi ke Majapahit. Sampai di kota, diam-diam ia mengunjungi tumenggung amancanagara (walikota), memberitahukan keselamatan Jayanagara. Guna memancing seberapa besar perhatian mereka terhadap raja, Gajah Mada berbohong bahwa sang Prabu telah terbunuh oleh pengikut Kuti, dan semua yang hadir menangis. Tahulah, bahwa pembesar dan penduduk Majapahit tak mengakui Kuti sebagai penguasa Majapahit, melainkan tetap menghendaki Jayanagara. Maka, dikatakanlah yang sebenarnya bahwa raja mereka masih hidup, dan Gajah Mada meminta mereka bahu-membahu menumpas Kuti dan kawan-kawan.
Syahdan, Kuti pun dapat ditumpas. Jayanagara kembali ke puri istana diiringi Gajah Mada dan para bekel bhayangkara. Gajah Mada cuti selama dua bulan, lalu berhenti sebagai bekel. Sebagai gantinya, Jayanagara mengangkatnya sebagai patih Kahuripan. Du tahun lamanya Gajah Mada menjabat patih Kahuripan. Setelah patih Daha, Arya Tilam mangkat, Gajah Mada dipindahkan ke Daha.
Tewasnya Jayanagara, Terbunuhnya Tanca
Sejumlah dharmaputra masih tetap ada ketika Jayanagara kembali memerintah Kerajaan. Salah satunya Tanca. Tanca diberitahu oleh istrinya bahwa Raja Jayanagara melarang kedua adik tirinya, Tribhuwana Tunggadewi dan Dyah Wiyah Rajadewi, untuk dekat dengan pemuda lain. Katanya, sang Prabu hendak mengawini keduanya, bahkan sempat berbuat hal yang tak terhormat terhadap dua adik tirinya itu. Mendengar hal tersebut, Tanca segera melaporkannya kepada Gajah Mada, namun mantan bekel itu tak mengambil tindakan apa pun.
Kebetulan, pada suatu hari, Jayanagara menderita bisul dan penyakit itu harus dibedah. Tanca yang dipanggil ke istana untuk mengobatinya, segara masuk kamar tidur Raja. Setelah tiga kali bengkak bisul sang Prabu dipotong, tanpa diduga Tanca menikamnya. Jayanagara tewas seketika di tempat tidur. Gajah Mada yang berada di samping sang Prabu, tak ayal lagi segera menusuk Tanca hingga mati. Pararaton mencatat peristiwa ini terjadi tahun 1250 Saka (1328 M). Jenazah Jayanagara ditaman di istana.
Nagarakretagama tak membahas sama sekali peristiwa Tanca, hanya menyebutkan bahwa Jayanagara “pulang ke Haripada” tahun 1250 Saka dan dimakamkan di dalam pura. Di atas makamnya disimpan arca Wisnu. Pun, di Sila Petak dan di Bubat didirikan arca Wisnu untuk Jayanagara, di Sukalila didirikan arca Buddha sebagai Amogasidi. Pemberitaan yang demikian dalam Nagarakretagama lumrah, mengingat kitab ini ditulis oleh Prapanca sebagai pujasastra yang mengagung-agungkan Majapahit. Maka dari itu, wafatnya raja-raja Majapahit maupun Singasari dikisahkan wajar saja, seolah-olah tak ada peristiwa yang menghebohkan, termasuk ketika memberitakan wafatnya Sri Rajasa, Anusapati, dan Kertanagara.
Mengenai kematian Jayanagara, Muljana (2006: 139-140) berpendapat, bahwa Gajah Mada pun sesungguhnya tak senang terhadap Jayanagara, dan Tanca dijadikan alat olehnya untuk memusnahkan raja tersebut. Dengan membunuh Tanca, rahasia kematian Jayanagara tetap tertutup. Dengan begitu, warga Majapahit hanya tahu: Jayanagara dibunuh Tanca dan Gajah Mada membalasnya dengan menghabisi Tanca, pengikut setia Raden Wijaya. Dari sini ada pertanyaan penting: mengapa Tanca dibunuh, tidak dibiarkan hidup untuk kemudian diajukan ke pengadilan Kerajaan? Hanya Gajah Mada yang tahu.
Masa Tribhuwana Tunggadewi
Tewasnya Jayanāgara berarti bebasnya putri Tribhuwana Tunggadewi dan Dyah Wiyah Rajadewi Maharajasa dari cengkraman kakak tirinya. Tribhuwana lalu menikah dengan raja Singasari, Kertawardhana, putra Cakradara; jadi sama-sama masih keturunan Raja Singasari, Wisnuwardhana. Sementara itu, Rajadewi Maharajasa menikah dengan raja Wengker, Wijayarajasa. Tribhuwana kemudian menjadi Rani (Bhre) Kahuripan, Dyah Rajadewi menjadi Rani Daha. Baik Pararaton maupun Nagarakretagama sama-sama menyebutkan hal ini.
Karena tidak memiliki putra, tampuk pimpinan Majapahit diambil alih oleh Tribhuwana Tunggadewi, Bhre Kahuripan. Setelah menjadi ratu Majapahit, ia bergelar Jayawisnuwardhani. Hal ini terbukti dari Piagam Berumbung yang dikeluarkan oleh dirinya sendiri pada bulan Bhadra tahun 1251 Saka (Agustus-September 1329 M). Ia melahirkan tiga orang anak: Bhre Lasem, Bhre Pajang, dan Dyah Hayam Wuruk. Pada usia yang masih belia, Hayam Wuruk diangkat menjadi raja Kahuripan (Jiwanarajyapratista) dengan nama abhiseka Bhatara Sri Rajasanagara.
Patih Amangkubhumi Arya Tadah
Pararaton menjelaskan, sehabis peristiwa Tanca, orang yang menjabat patih amangkubhumi Majapahit adalah Arya Tadah. Pada tahun 1215 Saka (1328 M), Arya Tadah sakit sehingga jarang menghadap Rani Tribhuwana. Karena itu, Arya Tadah pun meminta agar dibebastugaskan dari jabatannya, namum ditolak sang Rani. Maka dari itu, Arya Tadah mendekati Gajah Mada, yang dianggapnya cocok untuk menggantikannya mengingat Gajah Mada banyak berjasa terhadap Negara. Namun, Arya Tadah hanya menawarinya sebagai patih, bukan amangkubhumi. Gajah Mada menyatakan, “Seganlah saya untuk menjadi patih sekarang. Jika nanti sepulang saya dari Sadeng, saya baru mau.” Arya Tadah pun mengiyakan.
Nama Arya Tadah hanya tertulis dalam Pararaton, tidak tercatat dalam piagam mana pun. Ketika ia memohon pengunduran diri kepada Rani Tribhuwana tahun 1329, justru pada tahun yang sama sang Rani mengeluarkan Piagam Berumbung. Dalam piagam ini nama Arya Tadah tak tercantum, melainkan Rakryan Mapatih Namawisita Pu Krewes. Atas dasar ini, bisa dipastikan bahwa Arya Tadah identik dengan Empu Krewes. Empu Krewes ini menjadi patih amangkubhumi menggantikan Dyah Halayudha (Mahapati), yang namanya tercatat dalam Piagam Sidateka bertarikh 1323.
Penundukan Sadeng dan Keta
Dari percakapannya dengan Arya Tadah terlihat bahwa Gajah Mada terlihat masih ingin mengumpulkan jasa terhadap Kerajaan, dengan menundukkan Sadeng. Sadeng ini sebuah wilayah di pantai selatan di tepi Sungai Badadung. Namun, Gajah Mada kecewa ketika mendengar bahwa Sadeng telah dikepung oleh Kembar sebelum kedatangannya. Mendengar berita ini para menteri araraman dan patih amangkubhumi marah. Patih Amangkubhumi kemudian mengirim menteri amancanagara dan lima orang bekel untuk menghukum Kembar. Kembar yang ditemui oleh mereka di hutan segera menyebat dahi utusan patih dengan cemetinya. Mengetahui pertikaian Kembar dengan Sadeng, Rani Tribhuwana pergi sendiri ke Sadeng membawa tentara. Kemenangan atas pendudukan Sadeng tercatat sebagai kemenangan sang Rani sendiri.
Peristiwa Sadeng diceritakan dalam Nagarakretagama juga Pararaton. Peristiwa ini berlangsung pada tahun kaya bhuta non daging (seperti raksasa melihat daging) alias tahun 1253 Saka (1331 M). Penundukan Sadeng, menurut Nagarakretagama, berbarengan dengan penundukan Keta, yang tak diberitakan oleh Pararaton. Keta terletak di pantai utara Jawa.
Sumpah Amukti Palala Gajah Mada
Sepulang dari Sadeng, Gajah Mada mendapatkan gelar angabehi, sementara Kembar dinaikkan menjadi bekel araraman. Semua peserta penaklukan Sadeng (Pasadeng) dinaikkan pangkatnya. Dari Piagam Blitar, bertarikh 1330, diketahui bahwa Gajah Mada telah menjadi Patih Daha.
Setelah peristiwa Sadeng, Pararaton memberitakan terjadi gempa bumi di Pabanyu Pindah pada tahun 1256 Saka (1334 M). Bencana alam ini diisyaratkan oleh penduduk bahwa akan ada perubahan besar di Majapahit. Dan memang, setelah itu Gajah Mada diangkat menjadi patih amangkubhumi, menggantikan posisi Arya Tadah. Saat penobatannya, para menteri duduk di penangkilan menghadap Rani Tribhuwana. Ketika inilah Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal, bahwa ia tidak akan amukti palapa (beristirahat) sebelum menundukkan daerah-daerah di Nusantara. Daerah-daerah tersebut adalah: Gurun (di Kalimantan), Seran (Seram), Tanjungpura (di Kalimantan), Haru (Maluku), Pahang (Malaysia), Dompo (Sumbawa), Bali, Sunda (Jawa Barat), Palembang (Sumatra), dan Tumasik (Singapura).
Sumpah Gajah Mada menggemparkan yang hadir. Kembar mengejek bahkan mencaci maki sumpah tersebut. Banyak pun ikut mengejek. Jabung Tarewes dan Lembu Peteng tertawa terbahak-bahak. Arya Tadah yang sebelumnya berjanji akan membantunya dalam segala kesulitan pun ikut menertawakan rencana politiknya. Melihat sumpahnya dihinakan, Gajah Mada lalu dari paseban, turun memeluk kaki sang Rani sambil berkata hatinya sedih oleh hinaan Arya Tadah. Di luar penangkilan, Kembar dan Warak dihabisinya. Dendamnya terhadap Kembar pun terbalas sudah.
Nama Gajah Mada belum tercatat pada Prasasti Berumbung (1329). Baru pada sebuah piagam tak bertarikh yang ditemukan di Surabaya, namanya sebagai patih amangkubhumi tertulis (rake mapatih ring Majapahit pu Gajah Mada). Piagam tak bertarikh yang kini berada di Museum Nasional Jakarta dengan tanda D.38, karena dibuat semasa pemerintahan Tribhuwana, ada kemungkinan ditulis sesudah tahun 1344 dan sebelum 1351. Saat itu Hayam Wuruk masih menjabat yuwaraja di Daha.
Wilayah Majapahit sebelum tahun 1334 hanya meliputi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Saat itu, pulau-pulau lain di luar Jawa, yang oleh orang Jawa disebut Nusantara, belum berada dalam wilayah Majapahit. Prasasti Camunda bertarikh 1254 Saka (1332 M) menyatakan bahwa “Sri Maharaja mendirikan patung Paduka Bhatari, setelah menundukkan semua tempat dan memayungi seluruh Dwipantara.” Jelas prasasti ini dikeluarkan oleh Tribhuwana Tunggadewi karena istilah dwipantara itu hanya meliputi Jawa dan Madura, tidak mencangkup seluruh Nusantara. Mengingat prasasti ini dibuat pada bulan Caitra tahun 1254 (Maret-April 1331 M), hanya beberapa bulan setelah penundukan Sadeng dan Keta, mungkin sekali pendirian arca Paduka Bhatara itu berhubungan dengan kemenangan Rani Tribhuwana terhadap Sadeng dan Keta.
Penundukan Nusantara: Program Politik Gajah Mada
Untuk membuktikan sumpahnya, program penundukan terhadap wilayah-wilayah asing dilakukan oleh Gajah Mada. Program ini dilaksanakan sesudah tahun 1334 hingga kira-kira 1357. Pada 1334 Bali berhasil ia ditundukkan; dan inilah langkah “invasi” pertama Majapahit atas wilayah luar.
Negara-negara yang berhasil ditundukkan ternyata lebih banyak daripada yang disumpahkan Gajah Mada tahun 1334. Dari Nagarakretagama pupuh 13-14 dilaporkan, kekuasaan Majapahi meliputi wilayah Wwanin di pantai barat Irian Barat hingga Langkasuka di Semenanjung Melayu. Penundukan wilayah-wilayah tersebut terjadi pada akhir masa pemerintahan Tribhuwana. Pararaton menyebut tarikh 1357 sebagai tahun penundukan Dompo oleh Empu Nala, tahun di mana terjadi Pasunda Bubat. Tahun ini pula yang dijadikan akhir dari program politik Gajah Mada, karena setelah itu tak ada berita mengenai penaklukan wilayah di luar Jawa oleh Majapahit. Perang Bubat diceritakan dalam Kidung Sundayana terbitan Prof. C.C. Berg dalam “Inleiding tot de Studie van het Oud-Javaansch” tahun 1928 (Muljana, 2006: 145).
Masa Sri Rajasanagara (Hayam Wuruk)
Ratu Jayawisnuwaddhani memerintah 22 tahun. Ia digantikan oleh anaknya, Hayam Wuruk, hasil perkawinannya dengan Kertawardhana, raja Singasari. Hayam Wuruk dinobatkan sebagai raja tahun 1350 (atau 1351) dengan gelar Sri Rajasanagara, sementara ibunya menjadi pengembannya. Gajah Mada tetap mengabdi sebagai patih amangkubhumi (mahapatih) yang sudah diperolehnya ketika mengabdi kepada ibunda Hayam Wuruk.
Di masa pemerintahan Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai puncak kebesarannya. Ambisi Gajah Mada untuk menundukkan Nusantara mencapai hasilnya di masa ini sehingga pengaruh kekuasaan Majapahit sampai ke Semenanjung Malaysia, Sumatra, Kalimantan, Maluku, hingga Papua. Sementara, wilayah Priangan (Sunda) hingga hancurnya Majapahit tak berhasil ditaklukkan, walau pada 1357 terjadi peperangan Pasunda Bubat.
Pasunda Bubat (Perang Bubat)
Pasunda Bubat ialah perang antara tentara Sunda dengan tentara Majapahit di lapangan Bubat. Peristiwa ini tidak disebut dalam Nagarakretagama (Desawarnana), meski Mpu Prapanca membuat uraian cukup panjang tentang lapangan Bubat dalam pupuh LXXXVI. Prapanca menyebutkan bahwa Bubat merupakan bandar tempat kapal atau perahu berlabuh karena terletak di tepi sebatang sungai besar. Di Bubat ini terdapat sebuah lapangan upacara yang luas tempat upacara kenegaraan dan keagamaan. Jika ingin menghadiri upacara tersebut, Raja Hayam Wuruk datang ke Bubat dengan mengendarai kereta yang ditarik empat ekor kuda.
Alasan Prapanca tidak menulis Pasunda Bubat mudah dimengerti: peristiwa tersebut dinilai tidak memberikan sumbangan kepada keagungan Majapahit. Pun, bila peristiwa Bubat ditulis dalam Nagarakretagama maka Dyah Hayam Wuruk, selaku raja bagi Prapanca, akan tersingguh dan sedih, bahkan mungkin marah. Sebaliknya, Pasunda Bubat diuraikan panjang dalam Pararaton, dan khusus menjadi tema Kidung Sundayana.
Menurut Pararaton, Prabu Hayam Wuruk bermaksud untuk mengambil putri Raja Sunda bernama Dyah Pitaloka sebagai parameswari (permaisuri). Patih Madu diutus menghadap Raja Sunda untuk menyampaikan pesan tersebut. Raja Sunda datang ke Majapahit tetapi tidak membawa sang putri. Sesungguhnya kehendak orang Majapahit, menginginkan agar putri Dyah Pitaloka dipersembahkan sebagai “upeti” kepada Sang Prabu. Patih Gajah Mada tidak suka bahwa perkawinan antara Sang Prabu dan putri Pitaloka dilakukan secara resmi. Sebaliknya pula, Maharaja Sunda tidak suka dengan sikap pihak Majapahit.
Dengan serta merta, balai penginapan Maharaja Sunda dikepung oleh tentara Majapahit atas perintah Gajah Mada. Maharaja Sunda bermaksud akan menyerah dan menuruti kehendak Gajah Mada, tetapi para menak, yang mengikuti Maharaja Sunda menolak sambil berkata, bahwa mereka tidak bersedia tidak mau menyerah mentah-mentah kepada Gajah Mada. Mereka bersedia mati di lapangan Bubat jika terjadi peperangan. Kesanggupan para menak itu membangkitkan semangat perang pada Maharaja Sunda. Larang Agung, Tuan Sohan, Tuan Gempong, Panji Melong, orang Penghulu, orang Saya, Rangga Kaweni, orang Siring, Sutrajali dan Jagatsraya, semua orang Sunda bersorak.
Dalam pertempuran, Maharaja Sunda dan Tuan Usus gugur. Orang Sunda menyerang ke jurusan selatan. Sementara tentara Majapahit kocar-kacir. Namun, serangan berhasil ditangkis oleh Arya Sentong, Patih Gowi, Patih Marga Lewih, Patih Teteg, dan Jaran Baya. Para menteri araraman berkuda, ganti menyerang. Tentara Sunda berantakan, lalu berganti haluan. Mereka menuju arah baratdaya dan langsung berhadapan dengan Gajah Mada. Tetapi setiap orang Sunda yang mendekati pedati Gajah Mada, dapat dibunuh. Tak seorang pun yang tinggal hidup. Peristiwa itu terjadi pada tahun Saka sanga-turangga-paksa-wani yang berarti: sembilan (9) kuda (7) bersayap (2) berani (1). Dengan begitu, peristiwa tragis ini bertarikh 1279 Saka atau 1357 M.
Sementara itu, Kidung Sundayana, yang ditulis pada 1775 Saka (1853 M) dalam bentuk tembang macapat, mencatat bahwa Dyah Pitaloka diantar ke Majapahit.
Alih-alih Raja Hayam Wuruk yang lajang ingin menyunting putri Sunda yang kesohor cantik jelita, diutuslah Tuan Anepaken (Patih Sunda) untuk melamar Dyah Pitaloka Citraresmi. Maka ketika tiba saatnya, ratusan rakyat mengantar keberangkatannya yang disertai raja dan para bangsawan Sunda ke Majapahit dengan menggunakan perahu. Namun tiba-tiba, laut yang semula biru, secara mendadak dilihatnya berubah menjadi hamparan air yang bewarna merah. Tanda-tanda buruk iturupanya tidak dihiraukan, sehingga setelah sepuluh hari berlayar, rombongan tiba di Bubat.
Patih Madu yang diutus mengantarkan surat lamaran ke Sunda, pulang dengan hasil memuaskan. Namun ternyata, ketika Dyah Pitaloka diantar ke pura Majapahit, patih Gajah Mada telah mendahului menyerang rombongan Sunda yang tengah rehat di sebelah utara Majapahit. Para ksatria terkemuka dari pihak Sunda yang bersemangat berperang di antaranya: Larang Agung, Tuan Sohan, Tuan Gampong, Panji Melong, orang-orang dari Tobong Barang, Rangga Cahot, Tuan Usus, Pangulu, Rangga Kaweni, orang Siring, Satrajali, Jagadsaya. Namun, karena tak seimbang dalam jumlah tentara dan peralatan, ditambah ketaksiapan pasukan Sunda yang memang semula tak berniat berperang, semua rombongan Sunda tewas. Dalam membela kehormatan martabatnya dan Kerajaan Sunda, Prabu Maharaja Lingga Bhuwana gugur lebih dulu, tersungkur bersama Tuan Usus. Namun meski demikian, peperangan masih terus berkobar. Para kesatria Sunda lainnya akhirnya mengikuti jejak Prabu Maharaja. Diceritakan, darah seperti lautan, bangkai seperti gunung, hancurlah orang Sunda, tak ada yang ketinggalan. Tragedi ini terjadi pada Selasa-Wage sebelum tengah hari, tanggal 13 bagian terang, bulan Badra tahun 1279 Saka.
Setelah tentara Sunda kalah, Prabu Hayam Wuruk segera menuju pasanggrahan untuk menemui Dyah Pitaloka. Namun Dyah Pitaloka kedapatan telah mati bunuh diri, bersandar pada bantal. Sang Prabu terharu melihatnya. Setelah dilakukan upacara pembakaran jenazah yang dihadiri oleh para pembesar Majapahit, sang Prabu langsung masuk pura mengenangkan Dyah Pitaloka. Karena kurang makan dan tidur, akhirnya Sang Prabu jatuh sakit. Dalam bulan Kartika (Oktober-November) Sang Prabu siuman namun lalu mangkat (mati). Tidak bisa dibayangkan ributnya suasana istana saat itu. Semua pembesar Majapahit datang melawat. Tiga puluh tujuh hari lamanya jenazah Baginda disiapkan untuk pembakaran di caka.
Mengenai Maharaja Sunda ini, sejumlah sejarawan sepakat bahwa ia adalah Prabu Maharaja Linggabuana Wisesa, raja Sunda-Galuh yang bertakhta di Kawali. Linggabuana Wisesa hanya memerintah 7 tahun, 1350-1357. Takhta Sunda lalu diserahkan kepada adiknya, Bunisora, karena anak lelaki Linggabuana satu-satunya yang bernama Niskala Wastukancana masih kecil, berumur 9 tahun. Barulah setelah Niskala Wastukancana dewasa, takhta diserahkan kepadanya, sebagai ahli waris satu-satunya karena semua kakaknya gugur di Bubat. Prabu Niskala Wastukancana ini kemudian memiliki cucu bernama Sri Baduga Maharaja, raja Sunda-Pakuan (Pajajaran).
Setelah peristiwa Bubat, Mahapatih Gajah Mada mengundurkan diri dari jabatannya karena telah berusia lanjut, sedangkan Hayam Wuruk akhirnya menikah dengan sepupunya sendiri bernama Paduka Sori, anak pasangan Bhre Wengker Raja Wijayarajasa (Hyang Parameswara) dengan Bhre Daha Dyah Wiyah Rajadewi (bibi Hayam Wuruk).
Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk, Majapahit menjadi sebuah kerajaan besar yang kuat, baik di bidang ekonomi maupun politik. Hayam Wuruk memerintahkan pembuatan bendungan-bendungan dan saluran-saluran air untuk kepentingan irigasi dan mengendalikan banjir. Sejumlah pelabuhan sungai pun dibuat untuk memudahkan transportasi dan bongkar muat barang.
Mangkatnya Gajah Mada
Pararaton memberitakan, setelah peristiwa Bubat, Patih Amangkubhumi Gajah Mada mengundurkan diri dari jabatannya karena sang Prabu tak setuju akan kebijakan politiknya terhadap Kerajaan Sunda. Namun, pemberhentian Gajah Mada hanya bersifat sementara, karena ternyata pada tahun 1359 ia aktif kembali dalam jabatan semula. Nagarakretagama pupuh 19/2 membeberkan bahwa Empu Mada mendapatkan hadiah tanah, dan di tanah itu dibangun rumah pesanggrahan Madakaripura atau pesanggrahan Gajah Mada. Nagarakretagama menyebut, rumah kediaman Gajah Mada terletak di sebelah timurlaut istana.
Setelah namanya direhabilitasi, Gajah Mada menghentikan program politik Nusantaranya. Nagarakretagama dan Pararaton tak menyebut ekspedisi militer sesudah tahun 1357. Mungkin Gajah Mada menuruti saja perintah Prabu Hayam Wuruk, dan menjalankan saja tugas sehari-harinya dalam kepatihan dalam usia yang sudah sepuh. Gajah Mada meninggal dunia baru pada tahun 1286 Saka (1364 M).
Setelah Gajah Mada wafat, Dyah Hayam Wuruk memanggil Dewan Pertimbangan Agung Majapahit. Dewan ini terdiri dari kerabat dekat sang Prabu, yakni ibunda Tribhuwana Tunggadewi, ayahanda Sri Kretawardhana, bibinda Dyah Wiyah Rajadewi, pamanda Sri Wijayarajasa, adinda Bhre Lasem serta suaminya Sri Rajasawardhana, adinda Bhre Pajang dan suaminya Sri Singawardhana. Dalam musyawarah tersebut, dewan ini bermaksud mencari pengganti Gajah Mada. Akan tetapi, karena di antara perwira maupun menteri tak ada yang dipandang layak untuk menggantikannya, maka diputuskan bahwa Gajah Mada tak akan diganti. Jika rakyat tak setuju atas keputusan tersebut, pemerintah takkan menggubrisnya karena Dyah Hayam Wuruk yakin tak ada seorang pun yang bisa menggantikan posisi Gajah Mada almarhum.
Atas keputusan Dewan Pertimbangan Agung tersebut, Dyah Hayam Wuruk pun menjabat ganda, sebagai raja sekaligus patih amangkubhumi. Susunan kabinet kementerian mengalami perubahan: Empu Tandi diangkat sebagai wreddha menteri (menteri sepuh); Empu Nala, pahlawan Padompo, diangkat sebagai menteri amancanagara dengan pangkat tumenggung; Pati Dami diangkat sebagai yuwa menteri (menteri muda).
Nana-nama pejabat menteri di atas ditemukan dalam Prasasti Sekar, di Bojonegara, tak bertarikh. Di dalamnya tercatat nama Rakryan Rangga Pu Dami, yang mahir dalam ilmu politik dan memiliki pengetahuan luas tentang masa lampau. Ditulis pula nama Rakryan Tumenggung Pu Nala, bergelar Arya Wiramandalika, yang menakutkan keempat medan perjuangan dan pahlawan yang sudah banyak membinasakan musuh, pelindung orang utama dan pembunuh para derujana. Disebutkan pula nama Sang Arya Dewaraja Pu Sridhara, pelindung bumi dan penuntut ilmu politik, yang bertugas membina suasana seluruh Jawadwipa dan Nusantara.
Jabatan patih amangkubhumi tidak terisi selama tiga tahun. Baru pada tahun 1367 akhirnya Gajah Enggon ditunjuk Dyah Hayam Wuruk mengisi jabatan itu. Tidak banyak informasi tentang Gajah Enggon dalam prasasti atau pun naskah-naskah masa Majapahit yang dapat mengungkap sepak terjangnya. Nagarakretagama pun tak sempat menuliskan Gajah Enggon karena selesai ditulis tahun 1365. Yang diketahui bahwa ia menjabat patih selama 27 tahun, mangkat pada tahun 1398 M, lalu digantikan oleh Gajah Lembana.
Hubungan dengan Cina
Pada masa Prabu Hayam Wuruk, hubungan dengan Cina, yang sebelumnya runyam akibat pertentangannya dengan Singasari, dipulihkan kembali. Pada 1368, utusan Majapahit datang ke negeri Cina membawa upeti untuk kaisar dari Dinasi Yuan. Pada waktu itu tengah terjadi huru-hara politik di Cina, yang ditimbulkan oleh pemberontakan seorang petani bernama Tsu Yuan Tsiang mantan pendeta Buddha. Setelah berhasil mengusir Kaisar yang mengakibatkan jatuhnya Dinasti Yuan, Tsu Yuan Tsiang menjadi kaisar baru di Cina, bergelar Kaisar Hung Wu. Ia pun mendirikan dinasti baru: Ming (berarti gemilang). Ketika Peking jatuh, utusan Majapahit sudah berada di Fukien dalam perjalanan pulang. Mendengar berita adanya dinasti baru, utusan Majapahit tersebut kembali ke Peking untuk menyampaikan ucapan selamat kepada Kaisar Hung Wu, kaisar pertama Dinasti Ming.
Dua tahun kemudian, 1370, Kaisar Hung Wu secara resmi mengirim utusan ke Majapahit untuk menyampaikan berita tentang Dinasti Ming sebagai pengganti Dinasti Yuan. Utusan ini diterima dengan gembira oleh Raja Majapahit. Pada bulan kesembilan tahun itu juga, Raja Majapahit Sri Pah-ta-la-po (Sri Prabu) mengirim utusan ke negeri Cina dengan membawa surat yang ditulis di atas lempengan emas serta hasil bumi sebagai balas budi. Utusan selanjutnya tiba di negeri Cina pada tahun 1375 dan 1377.
Dengan maksud yang sama, Kaisar Hung Wu juga mengirim utusan ke pelbagai negara asing di antaranya Suwarnabhumi. Utusan Kaisar sampai di Suwarnabhumi pada 1370. Tahun berikutnya Raja Suwarnahumi mengirim utusan balasan ke negeri Cina dengan membawa surat di atas lembaran emas dan hasil bumi. Utusan Suwarnabhumi selanjutnya tiba di negeri Cina pada 1373 dan 1377. Kaisar Hung Wu tak tahu bahwa sesungguhnya ketika itu Suwarnabhumi bukan merupakan negara merdeka, melainkan bawahan Majapahit. Nagarakretagama pupuh 8/1 menyebut beberapa negara bawahan Majapahit di Sumatra, di antaranya Jambi, Palembang, dan Dharmasraya. Justru negara-negara tersebut juga mengadakan hubungan luar negeri dengan Cina dengan mengirim utusan masing-masing. Maharaja Palembang mengirim utusan tahun 1374, Raja Pagaruyung tahun 1375. Malah pada tahun 1377 sepeninggal Raja Dharmasraya, putranya sengaja memohon pengakuan dan pengangkatannya kepada Kaisar Cina. Ia mengajukan hal ini karena tanpa perlindungan Raja Cina ia tak berani naik takhta menggantikan ayahnya, takut oleh Raja Jawa.
Hubungan-hubungan raja-raja di Sumatra dengan Kaisar Cina menimbulkan kemarahan Raja Majapahit. Inilah sebabnya mengapa pada 1377 tentara Majapahit menggempur Suwarnabhumi. Terjadilah sengketa segitiga: Majapahit-Suwarnabhumi-Cina. Utusan Kaisar Cina ke Suwarnahumi yang membawa surat pengangkatan, stempel, dan perabot kerajaan berhasil dicegat dan dibunuh tentara Jawa. Menanggapi peristiwa ini, Kaisar Cina tak melakukan apa-apa, meski dengan begitu terjadi ketegangan antara Cina-Majapahit. Ketegangan hubungan diplomatik ini terlihat ketika tahun 1379 utusan Majapahit yang datang ke Cina ditahan selama sebulan atas perintah Kaisar Cina. Tadinya, utusan ini akan dibunuh namun Kaisar membatalkannya. Utusan ini dibebaskan dan dikirim pulang dengan membawa surat peringatan keras kepada Raja Majapahit (Muljana, 1986: 218).
Kerajaan Timur
Pada 1377 diberitakan bahwa di Cina datang utusan dari dua negara di Jawa, yakni Kerajaan Barat dan Kerajaan Timur. Nama raja yang memerintah Kerajaan Barat adalah Pa-ta-na-pa-la-hu, sedangkan raja yang memerintah Kerajaan Timur adalah Wu-(yuan)-lao-wang-chieh. Pemberitaan ini menarik karena pada masa itu, masa Hayam Wuruk, tak terberitakan adanya “Kerajaan Timur”. Istilah Kerajaan Barat dan Kerajaan Timur baru ditulis dalam Pararaton, ketika pecah Perang Paregreg tahun 1406 antara Wikramawardhana melawan Bhre Wirabhumi. Bila merujuk kepada kronik Cina jelas bahwa Kerajaan Timur telah ada pada masa Dyah Hayam Wuruk (Muljana, 1986: 218-219).
Identifikasi terhadap Pa-ta-na-pa-la-hu tak begitu sulit, ia merupakan ucapan Cina untuk Bhatara Prabu, sebutan untuk Dyah Hayam Wuruk. Begitu pula tokoh Si-li-pa-ta-po adalah ejaan Cina untuk Sri Prabu. Sementara tokoh Wu-(yuan)-lao-wang-chieh cukup sukar diidentifikasi secara jelas. W.P. Groeneveldt menyebutkan bahwa kata itu merupakan transliterasi dari Baginda Bongkit. Brian E. Colless berpendapat bahwa Wu-(yuan)-lao-wang-chieh merupakan transliterasi dari nama asli Bhre Wengker. Namun, Muljana (1986: 219-220) mempertanyakan: mengapa kerajaan Bhre Wengker itu di timur sementara Wengker sendiri terletak di Ponorogo, di sebelah barat Majapahit? Di mana letak ibukota Kerajaan Timur?
Dalam Nagarakretagama dan Pararaton nama Bhre Wengker selalu dihubungkan dengan Sri Wijayarajasa, suami Bhre Daha Dyah Wiyah Rajadewi bibi sekaligus mertua Dyah Hayam Wuruk. Dari Pararaton diketahui, Bhre Wengker bergelar Hyang Parameswara. Pernyataan Pararaton ini didukung oleh Prasasti Her Abang II yang bertarikh 28 Januari 1384. Prasasti Her Abang menyatakan bahwa prasasti tersebut dikeluarkan atas perintah Sri Maharaja Raja Parameswara Sri Wijayarajasa. Disebutkan pula nama kecil (garbhopati) adalah Kutamerta dari Wengker, sedangkan nama abhisekanya adalah Sri Wijayarajasa Sang Apanji Waning Hyun.
Lokasi ibukota Kerajaan Timur justru diperoleh dari Pararaton, yakni bahwa Bhre Wengker Wijayarajasa juga bergelar Parameswara ring Pamotan. Disebutkan bahwa Bhre Wengker yang disebut juga Bhra Hyang Wisesa wafat pada tahun Saka gagana-rupa-anahut-wulan atau 1310 Saka (1388 M), yang dicandikan di Manyar, nama candinya Wisnubhawana. Nama candi ini ini terpahat pula pada Prasasti Biluluk I bertarikh 1391 M. Jadi jelas, bahwa Bhre Wengker Sri Wijayarajasa hingga 1388 telah berkuasa di Pamotan. Nagarakretagama tak mengenal gelar Sri Parameswara ring Pamotan, dan karenanya gelar itu baru dipakai sesudah tahun 1365 di mana Parameswara menguasai wilayah Pamotan.
Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa pada 1377, di mana ada dua utusan dari Jawa ke Cina, Sri Hayam Wuruk bersemayam di ibukota Trawulan, sedangkan Sri Wijayarajasa bersemayam di Pamotan. Istana tempat Hayam Wuruk disebut Kedaton Kulon, istana Sri Wijayarajasa disebut Kedaton Wetan. Namun, pertanyaan lain pun muncul: apa alasan Sri Wijayarajasa pindah dari Wengker/Daha ke Pamotan dan mendirikan “Kerajaan Timur”?
Nagarakretagama melaporkan bahwa sejak Gajah Mada tiada, yang memegang jabatan patih amangkubhumi adalah Hayam Wuruk, selain sebagai raja. Tugas patih amangkubhumi adalah mengoordinasi pemerintahan daerah, yang pada masa Gajah Mada urusan ini dilaksanakan secara ketat. Sepeninggal Gajah Mada, urusan administrasi wilayah kerajaan jadi kurang ketat meski di bawah Hayam Wuruk sendiri. Sementara itu, Bhre Wengker oleh Hayam Wuruk diserahi urusan pemerintahan dalam negeri, sedangkan Bhre Singasari Kertawardhana diserahi urusan keamanan. Wewenang yang diberikan Dyah Hayam Wuruk membuat Sri Wijayarajasa lebih leluasa dalam menggalang kekuatan politik baru. Apalagi, Gajah Enggon sebagai patih amangkubhumi yang baru, dalam menjalankan tugsanya, tak sekuat Gajah Mada.
Pengiriman utusan dari Kerajaan Timur atau Kedaton Wetan ke Cina rupanya guna mendapatkan pengakuan dari Kaisar Cina. Namun, hingga meninggalnya tahun 1388, Sri Wijayarajasa tak pernah mendapatkan pengakuan dari Kaisar Cina sebagai penguasa Kerajaan Timur yang terpisah dari Majapahit, Kerajaan Barat. Apalagi ketika utusan itu tiba, tiga rangkaian Majapahit-Cina-Suwarnabhumi tengah bersengketa, maka permintaan utusan tersebut tak diterima Kaisar Cina, malah ditahan.
Keberadaan Kerajaan Timur bagi Dyah Hayam Wuruk sendiri bukan atau belum dianggap sebagai yang membahayakan perpolitikan Majapahit. Hayam Wuruk terlalu segan terhadap Sri Wijayarajasa Hyang Parameswara (Bhre Pamotan) yang merupakan paman sekaligus mertuanya sendiri. Padahal, kebijakan Hayam Wuruk tersebut merupakan sebuah kelalaian yang kemudian mendatangkan konflik internal yang melahirkan Perang Paregreg (Muljana, 1986: 223).
Masa Wikramawardahana
Hayam Wuruk wafat tahun 1389. Karena tak memiliki putra, menantu yang sekaligus keponakannya sendiri, bernama Wikramawardhana, yang menggantikannya sebagai raja. Ia menikah dengan Kusumawardhani, putri Hayam Wuruk. Wikramawardhana sendiri memerintah selama duabelas tahun sebelum mengundurkan diri sebagai pendeta.
Sebelum turun takhta ia menunjuk putrinya, bernama Suhita, menjadi ratu. Hal ini tidak disetujui oleh Bhre Wirabhūmi, anak Hayam Wuruk dari seorang selir (binihaji). Bhre Wirabhumi yang menikah dengan Bhre Lasem Sang Alemu, kemenakan Hayam Wuruk, menghendaki takhta Majapahit. Perebutan kekuasaan ini membuahkan perang saudara yang dikenal dengan Perang Paregreg.
Perang Paregreg 1406 M
Pararaton membeberkan bahwa Bhre Pajang, adik perempuan Dyah Hayam Wuruk, menikah dengan Sri Singawardhana dari Paguhan. Dari pasangan ini lahirlah beberapa anak, yakni:
1. Raden Gagak Sali alias Aji Wikrama atau Wikramawardhana, yang bergelar Bhre Mataram dalam Nagarakretagama, menikah dengan Bhre Lasem Sang Ayahu (Bhre Lasem yang Cantik);
2. Bhre Lasem Sang Alemu (Bhre Lasem yang Gemuk), yang menikah dengan Bhre Wirabhumi, putra Hayam Wuruk dari binihaji (selir);
3. Bhre Kahuripan, yang kemudian kawin dengan Raden Sumirat (Bhre Pandan Salas).
Istri Bhre Wirabhumi yang di Pararaton disebut Bhre Lasem Sang Alemu di Nagarakretagama disebut Nagarawardhani. Pararaton menyebut bahwa Bhre Wirabhumi diakui sebagai putra oleh Bhre Daha. Yang dimaksud Bhre Daha di sini bukan Dyah Wiyah Sri Rajadewi Maharajasa, bibi Hayam Wuruk yang telah mangkat tahun 1371, melainkan Rajasaduhitentudewi (Bhre Lasem, adik Hayam Wuruk). Rajasaduhitentudewi menjadi penguasa Daha menggantikan Dyah Wiyah; karena itu gelarnya Bhre Daha, tidak lagi Bhre Lasem. Ia mengangkat Bhre Wirabhumi sebagai anak karena dari pernikahannya dengan Bhre Matahun tak dikarunia seorang pun keturunan. Pada waktu itu, ayahnya, Sri Wijayarajasa Hyang Parameswara menguasai Kerajaan Timur yang beribukota di Pamotan. Karena itulah, ayahnya bergelar Bhre Pamotan, tidak lagi Bhre Wengker.
Setelah Bhre Pamotan Hyang Parameswara tahun 1388, satu-satunya ahli waris Kerajaan Timur adalah putrinya dari Dyah Wiyah Rajadewi Maharajasa, yakni Bhre Daha Rajasaduhitendudewi, ibu angkat Bhre Wirabhumi. Rupanya sejak 1388 Rajasaduhitendudewi berpindah keraton, dari Daha ke Pamotan, sedangkan Bhre Wirabhumi menggantikan Rajasaduhitendudewi sebagai penguasa di Daha. Dalam kronik Cina, Bhre Wirabhumi disebut Put-ling-ta-ha, ejaan Cina dari Putreng Daha atau Bhre Daha. Oleh karena itu, begitu ibu angkatnya mendapatkan kekuasaan di Pamotan, Bhre Wirabhumi merasa berhak atas Kerajaan Timur ini. Tak mengherankan jika pada tahun 1403 kronik Cina menyebutkan Bhre Wirabhumi, yang sejak tahun 1988 menjadi Bhre Daha, sebagai penguasa Kerajaan Timur (Muljana, 1986: 225-226).
Sejarah Dinasti Ming menguraikan bahwa pada tahun 1381 dan 1393 utusan dari Kerajaan Barat dan Kerajaan Timur datang (kembali) ke Cina. Pada saat itu belum tampak perpecahan antara Kerajaan Barat pimpinan Wikramawardhana dengan Kerajaan Timur pimpinan Rajasaduhitendudewi. Baru ketika pada tahun 1403 Bhre Wirabhumi mengirim utusan kepada Cina guna mendapatkan pengakuan Kaisar Cina, saat itulah perpecahaan mulai merebak di Jawa. Karena itulah Wikramawardhana membatalkan masa kependetaannya (brahmacarin) yang telah dimulai pada 1400.
Ada pun di negeri Cina ketika itu terjadi huru-hara politik. Putra Kaisar Hung Wu yang bernama Ch’eng Tsu memberontak kepada Kekaisaran karena tak setuju takhta Kerajaan diserahkan kepada cucu Kaisar yang masih muda, anak dari putra pertama Kaisar Hung Wu. Ch’eng Tsu yang bukan merupakan anak pertama Kaisar, merasa berhak atas takhta, lalu berhasil menguasai Nanking, sementara Kaisar Muda melarikan diri ke tanah seberang. Setelah berhasil menguasai Nanking, Ch’eng Tsu memindahkan ibukota ke Peking dan menjadi kaisar dengan gelar Yung Lo. Sebagai penerus Dinasti Ming, Kaisar Yung Lo (1403-1424) banyak melakukan ekspedisi besar-besaran ke seberang, termasuk mengirim armada pimpinan Laksamana Cheng Ho yang singgah beberapa kali di Jawa di beberapa tempat.
Setelah jadi kaisar, tahun 1403 Yung Lo mengirim utusan ke Jawa guna memberitahukan bahwa dirinyalah yang menjadi Kaisar Cina. Hubungan Cina-Jawa makin mesra ketika Raja Wikramawardhana menerima stempel perak berlapis emas dari Kaisar Yung Lo. Sebagai terima kasih, Wikramawardhana mengirim utusannya ke Cina dengan membawa upeti. Rupanya kiriman stempel perak-emas itu membangkitkan keinginan Raja Kerajaan Timur untuk mengirim utusan dan membawa upeti ke Cina. Akan tetapi, pengirim utusan dari Kerajaan Timur memiliki maksud yang lebih khusus, yakni meminta pengakuan resmi dari Kaisar Cina, yang oleh Kaisar direstui. Pengesahan secara resmi dari Kaisar Cina terhadap Kerajaan Timur menimbulkan kegeraman Kerajaan Barat yang menilai Kerajaan Timur sudah membangkang, ingin sejajar dan lepas dari Kerajaan Barat.
Pararaton menyatakan bahwa pada 1322 Saka (1400 M) Bhra Hyang Wisesa (Wikramawardhana) menjadi pendeta dalam rangka menjalani ajaran caturasrama. Selama itu yang menjalankan roda pemerintahan adalah Prabu Stri, yakni Kusumawardhani. Ketika mendengar Bhre Wirabhumi diakui oleh Kaisar Cina, tahun 1403 Wikramawardhana kembali mengemban pemerintahan. Tiga tahun berikutnya, 1406, kedua belah pihak, Kerajaan Barat dan Kerajaan Timur, meminta dukungan terhadap kerabat istana Majapahit untuk mendukung masing-masing. Bhre Parameswara dan Bhre Tumapel mendapat undangan dari kedua pihak yang bersengketa. Jelas undangan tersebut mempersulit mereka berdua karena masing-masing pihak masih terikat tali saudara. Bhre Parameswara adalah menantu Wikramawardhana karena ia suami Dewi Suhita, sementara kepada Bhre Wirabhumi ia merupakan kemenakan berkat perkawinannya dengan Bhre Lasem Sang Alemu. Bhre Tumapel sendiri adalah putra Bhre Hyang Wisesa (Wikramawardhana) sekaligus berpaman kepada Bhre Wirabhumi.
Pararaton mencatat, Perang Paregreg terjadi pada tahun Saka naga-loro-anahut-wulan atau 1328 Saka (1406). Setelah melihat Wikramawardhana kalah dalam pertempuran awal, Bhre Parameswara maupun Bhre Tumapel segera memihak Wikramawardhana. Mereka memberikan nasihat agar Kerajaan Timur maju lagi, pantang mundur. Pihak Wikramawardhana pun berhasil memeroleh kemenangan, Kerajaan Timur bisa dihancurkan. Bhre Wirabhumi lalu melarikan diri pada waktu malam dengan menumpang perahu, namun berhasil dikejar oleh Bhra Narapati Raden Gajah. Kepalanya dipancung dan dibawa ke Majapahit untuk dipersembahkan kepada Bhra Hyang Wisesa. Kepala Bhre Wirabhumi kemudian ditanam di Desa Lung; candinya lalu dibangun pada tahun itu juga (1406), bernama Grisapura.
Setelah Bhre Wirabhumi tewas, Bhre Daha diboyong oleh Hyang Wisesa ke Kedaton Kulon, Majapahit. Bhre Daha yang dibawa dari Pamotan, ibu angkat Bhre Wirabhumi, ini tak lain Rajasaduhitendudewi. Pararaton menuturkan, ia meninggal di Kedaton Wetan antara tahun 1413 dan 1416, disusul oleh suaminya, Bhre Matahun. Siapa orang yang menggantikan Bhre Wirabhumi menjadi penguasa Daha setelah ditinggal Bhre Wirabhumi dan Rajasaduhitendudewi, tidak diketahui. Pararaton hanya menceritakan bahwa pada tahun 1359 Saka (1437 M) yang menjadi penguasa Daha adalah Jayawardhani Dyah Jayeswari, putri bungsu Bhre Pandan Salas.
Pada saat Perang Paregreg berkecamuk, Laksamana Cheng Ho yang sedang dalam perjalanan “muhibah”-nya kebetulan tengah berada tepat di Kerajaan Timur di Jawa. Sejarah Dinasti Ming menyebutkan bahwa pada tahun 1405 rombongan Cheng Ho sudah tiba di Majapahit dan tahun berikutnya (1406) pecah perang antara Kerajaan Timur dan Kerajaan Barat. Ketika perang meletus, utusan Kaisar Cina sedang berkunjung di istana Kerajaan Timur. Seratus tujuh puluh pengikut utusan tersebut ikut terbunuh oleh tentara Kerajaan Barat. Meski tak disengaja, Raja Kerajaan Barat mengirim utusan kepada Kaisar Cina untuk meminta maaf. Kaisar lalu mengirimkan maklumat berisi peringatan kepada Raja Kerajaan Timur dan menjatuhkan denda sebagai ganti rugi sebanyak enam puluh ribu tael emas. Namun akhirnya Raja Jawa dibebaskan dari denda tersebut, cukup mengakui kesalahannya. Sejak itu sang Prabu mengirim utusan membawa upeti untuk Kaisar, dua tahun sekali, kadang setahun dua kali. Utusan Kaisar yang sering berkunjung ke Majapahit ialah Cheng Ho dan Wu Pin.
Sehabis Perang Paregreg, Raja Malaka yang bernama Megat Iskandar Syah menuntut Palembang. Dikatakannya bahwa tuntutan tersebut atas dasar dukungan dan bahkan perintah dari Kaisar Cina. Akan tetapi, tuntutan Raja Malaka itu keburu terdengar oleh Kaisar yang kemudian memberitahu Raja Majapahit agar tak termakan fitnah demikian. Pada waktu itu memang resminya Palembang merupakan bawahan Majapahit, sebagai akibat penaklukan atas Suwarnahumi. Akan tetapi, kenyataannya yang berkuasa di Palembang adalah orang-orang Cina dari Kanton karena Majapahit tak cukup memiliki orang-orangnya untuk mengontrol Palembang. Sejak tahun 1397, ibukota Suwarnabhumi telah pindah ke Kukang (Palembang).
Meski Perang Paregreg telah usai, namun dendam kesumat tak bisa dipadamkan. Perpecahan demi perpecahan internal membuat kekuatan Majapahit makin merosot.
Masa Dewi Suhita
Setelah Perang Paregreg, takhta Majapahit masih dipegang oleh Wikramawardhana hingga 11 tahun kemudian. Pada tahun 1349 Saka (1427 M) Wikramawardhana wafat dan dicandikan di Lalangon. Takhta pun diserahkan kepada Dewi Suhita. Suami Suhita adalah Hyang Parameswara, yang membantu ketika meletus Perang Paregreg. Parameswara sendiri adalah putra sulung Bhre Pandan Salas, Raden Sumirat.
Bhatara Prabu Suhita wafat pada tahun Saka nawa-rasa-agni-sitangsu atau 1369 Saka (1447 M). Dari perkawinannya dengan Hyang Parameswara ia tak dikarunia seorang anak pun.
Masa Wijayaparakrawrdhana Dyah Kertawijaya
Karena tidak memunyai anak, Suhita digantikan oleh adiknya, Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya. Setelah naik takhta tahun 1447, ia bergelar Wijaya Parakrawardhana seperti yang tercantum pada Prasasti Waringin Pitu. Raja ini kawin dengan Bhre Daha Jayawardhani Dyah Jayeswari, putri bungsu Bhre Pandan Salas alias Raden Sumirat.
Pada Prasasti Waringin Pitu tercantum nama-nama para pembantu Bhatara Prabhu Wijaya Parakramawardhana Dyah Kretawijaya, yakni:
1. Rakryan Patih: Mpu Gajah Geger;
2. Rakryan Demung: Mpu Pambubuh;
3. Rakryan Kanuruhan: Mpu Samparka;
4. Rakryan Rangga: Mpu Capana;
5. Rakryan Tumenggung: Mpu Gading.
Pada Prasasti Waringin Pitu juga tercantum nama-nama para pembesar Majapahit sebagai penguasa daerah bawahan, yakni:
1. Bhatara di Daha: Jayawardhani Dyah Jayeswari, istri sang Prabu;
2. Bhatara di Jagaraga: Wijayendradewi Dyah Wijayaduhita;
3. Bhatara di Kahuripan: Rajasawardhana Dyah Wijayakumara;
4. Bhatara di Tanjungpura: Manggalawardhanadewi Dyah Sugharini;
5. Bhatara di Pajang: … Dyah Sureswari;
6. Bhatara di Kembang Jenar: Rajasanandaneswara Dyah Sudharmini;
7. Bhatara di Wengker: Girisawardhana Dyah Suryawikrama;
8. Bhatara di Kabalan: Mahamahisi Dyah Sawitri;
9. Bhatara di Tumapel: Singawikramawardhana Dyah Suprabhawa;
10. Bhatara di Singapura: Rajasawardhanadewi Dyah Sripura;
11. Bhatara di Matahun: Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya;
12. Bhatara di Wirabhuni: Rajasawardhanendudewi Dyah Pureswari;
13. Bhatara di Keling: Girindrawardhana Dyah Wijayakarana;
14. Bhatara di Kalinggapura: Kamalawarnadewi Dyah Sudajita.
Masa Sri Rajasawardhana Dyah Wijayakumara (Sang Sinagara)
Pararaton mencacat, Dyah Kertawijaya wafat pada tahun Saka bahni-parwata-kaya-iku atau 1373 Saka (1451 M). Pernyataan Pararaton itu disusul oleh sebaris kalimat yang ambigu dan cukup membingungkan, yakni: Bhre Pamotan mendaki takhta Kerajaan Keling, Kahuripan, nama abhisekanya ialah Rajasawardhana. Sang Sinagara mangkat, dicandikan di Sepang tahun Saka 1375. Selama tiga tahun tidak ada raja (Muljana, 1986: 243).
Dari kalimat pertama di atas jelas bahwa Śri Rājasawardhana pernah berkuasa di Pamotan, Keling, dan Kahuripan. Sementara itu, Prasasti Waringin Pitu menyebut nama Rājasawardhana Dyah Wijayakumara. Nama abhisekanya Rājasawardhana, nama garbhopatinya Dyah Wijayakumara. Maka dari itu, Bhre Kahuripan Sri Rājasawardhana Dyah Wijayakumara ini merupakan pengganti Wijayaparakrawardhana Dyah Kretawijaya.
Kalimat selanjutnya menyebutkan wafatnya Sang Sinagara dan dicandikan di Sepang. Ia memerintah di Majapahit hanya dua tahun, dari tahun 1451 hingga 1453. Mengenai wafatnya Pararaton tak menceritakan. Namun, dari tulisan Tome Pires, Suma Oriental, tercatat informasi sebab wafatnya Sang Sinagara, yakni sakit ingatan. Tome Pires juga menyatakan bahwa sepeninggal Sang Sinagara, takhta dipegang oleh putranya yang bergelar Bhre Mataram. Pararaton mengabarkan bahwa Sang Sinagara memang memiliki putra yang bergelar Bhre Mataram yaitu putra yang kedua, namun tak menyatakan bahwa Bhre Mataram pernah menjadi raja Majapahit. Alih-alih Pararaton mengabarkan bahwa sepeninggal Sang Sinagara, takhta Kerajaan kosong selama tiga tahun (1453-1456) tanpa menyebutkan sebabnya.
Paparaton menyebutkan bahwa Sang Sinagara memiliki empat putra, yakni Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan Bhre Kretabhumi. Kakawin Banawa Sekar karya Tanakung malah menyatakan, Sang Sinagara memiliki lima putra, yaitu keempat yang disebutkan Pararaton ditambah Bhre Lasem. Bhre Kahuripan inilah yang menggantikan Sang Sinagara yang telah menjadi raja Majapahit, menjadi penguasa Kahuripan.
Menurut Prasasti Waringin Pitu, Bhatara di Kahuripan Rajasawardhana Dyah Wijayakumara adalah ksitidhareswara wangsasumudbharah yang artinya: keturunan raja gunung. Ksitidhareswara maksudnya sama dengan apa yang dimaksud dengan girindra, yakni sebutan untuk Dewa Siwa. Istilah girindrawangsa juga ditemukan dalam kakawin Lubdhaka.
Masa Girisawardhana Dyah Suryawikrama Hyang Purwawisesa
Setelah Rajasawardhana wafat, antara 1453-1456 Majapahit tidak memiliki seorang raja pun. Kekosongan pemerintahan ini dikarenakan pertentangan di dalam istana yang makin meruncing. Baru pada tahun 1456, Bhre Wengker bernama Girisawardhana Dyah Suryawikrama naik takhta menjadi raja Majapahit. Nama abhisekanya ketika dinobatkan menjadi raja Majapahit adalah Hyang Purwawisesa. Sebelumnya, Bhre Wengker merupakan penguasa Tumapel. Pararaton menceritakan bahwa ia mangkat pada tahun Saka brahmana-naga-agni-sitangsu atau 1388 Saka (1466 M).
Masa Dyah Suraprabhawa
Sepeninggal Hyang Purwawisesa tahun 1466, yang menjadi raja di Majapahit adalah Bhre Prabhu Sang Mokta ring Kadaton i saka sunya-nora-yuganing-wong (1400). Pararaton hanya menyebutkan tempat dan tahun kematiannya, yakni di istana dan tahun 1400 Saka (1476 M).
Dari Prasasti Pemantihan diketahui bahwa yang dimaksud dengan Sang Mokta ring Kedaton i saka sunya-nora-yuganing-wong ialah Dyah Suraprabhawa. Jelas disebutkan pula nama abhiseka Dyah Suraprabhawa, yaitu Giripati Prasuta Bhupati Ketubhuta. Kakawin Lubdhaka karya Tanakung menyebutkan bahwa “Sang Prabhu Adi Suraprabhawa” merupakan keturunan Girindrawangsa. Menurut Muljana, Dyah Suraprabahwa inilah raja terakhir Majapahit, karena setelah dikalahkan Sang Munggwing Jinggan atau Girndrawardhana Dyah Wijayakarana kota Majapahit bukan lagi ibukota. Kelinglah yang menjadi ibukota berikutnya.

No comments:

Post a Comment