Getaran Khusyu’ yang Menyejukkan
Kehidupan masa kecil Abu Sangkan, ternyata penuh dengan guliran air mata. Baru berumur 15 hari sebagai orok, sudah ditinggal wafat oleh ayahandanya. Lalu dirinya diasuh oleh kakeknya Abdul Wahid, yang lebih dikenal sebagai pendekar sekaligus tokoh agama yang cukup disegani masyarakat di Banyuwangi. Lingkungan keluarga yang religius ini, memang sudah turun temurun sejak eyang buyutnya Mbah Mas Mohammad Shaleh – sang pendiri Masjid Jami’ Baiturraman Banyuwangi Kota.
Bahkan eyangnya Kyai Mas Sulaiman memiliki sebuah pesantren, yang kental dengan tradisi salafiyah syafi’iyah. Kelak pemikiran model salafiyah inilah, yang banyak mempengaruhi sikap hidupnya. “Sewaktu kecil, saya dilarang oleh kakek untuk bersiul, adu jago dan nonton tari janger. Bahkan kalau bunyi gamelannya terdengar sampai ke rumah, telinga saya langsung disumpel kapas,” tuturnya mengenang masa silam kanaknya. “Kalau sampai mendengar bunyi-bunyian itu, kata nenek nanti di akhirat kuping saya akan dicor dengan besi panas. Mendengar itu saya langsung tidur,” tambahnya sambil tertawa lirih.
Sayangnya, keceriaan masa balita itupun keburu lenyap dari kehidupannya. Sewaktu dirinya masuk ke SD Al-Irsyad, kakeknya pulang ke rahmatullah. Kesepian pun tiba-tiba saja bergelayut di pelupuk matanya; hidup serasa tak punya siapa-siapa lagi. Karena selama ini sentuhan kasih sayang yang paling dirasakannya, adalah dari kakek tercintanya. “Beliau adalah idola saya. Cita-cita saya waktu itu adalah ingin seperti kakek. Oleh karenanya saya sering disuwuk, agar kalau besar nanti bisa jadi pendekar dan kyai seperti kakek,” ungkapnya bernada pedih. “Keempat saudara saya juga meninggal semua sewaktu masih kecil-kecil, sehingga saya menjadi anak tunggal,” tambahnya.